Pasalnya, pihak pelaksana berupa badan
usaha menganulir dan berusaha mengelabui pemegang hak atas tanah dengan
cara-cara tertentu.
Pidim C. Oteh, salah satu penerima kuasa atas perlindungan hak atas tanah masyarakat mengutip dari ketentuan Pasal 1 ayat 3
PERPPU 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian
tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, disebutkan bahwa pengertian memakai
tanah ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau
mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah
bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan
Nomor 40 tahun 2017 yang dipedomani pelaksana kegiatan untuk mengganti nilai
kerugian atas pemakaian tanah akibat operasi survey seismic 3D Idaman oleh PT
Daqing Citra Petroleum Technology Service (DCPTS) telah terang-terangan
berpihak pada praktik konglomerasi.
(lih. Pasal 2 ayat (7) huruf c yakni : Apabila ketentuan
sebagaimana dimaksud huruf a dan b dilaksanakan, maka ketentuan ayat (1) tidak
dapat dilakukan secara bersamaan)
Dalam peraturan tersebut, Gubernur telah
membuat celah dengan memberikan pilihan yang paling menguntungkan kepada PT
DCPTS yakni hanya mebayar ganti kerugian terhadap jalur rintisan saja sebesar
Rp. 5.000,- permeter maju dan Rp. 50.000,- perlubang bor.
Pasal 2 ayat (7) :
Apabila suatu tempat digunakan untuk penyelidikan/survey
seismik pada kegiataneksploras! maka ganti kerugiannya ditetapkan sebagai
berikut :
a. Rintisan
Seismik per M (meter) panjang lintasan mendapat ganti rugi Rp 5.000,-
b. Lubang
Seismik pada kegiatan eksplorasi mendapat ganti kerugian Rp 50.000,/lubang.
Sementara, nilai pembayaran yang semestinya diterima
oleh masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dihitung berdasarkan luas area
(meter persegi) yang dipergunakan/dipakai untuk kegiatan seismic tidak pernah
tersosialisasi dan sampai kepada pemegang hak.
Dengan kata lain, masyarakat (pemegang
hak) berhak menerima pembayaran ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat
operasi seimic dihitung berdasarkan luas area yang terpakai dengan besaran
nilai tergantung pada jenis lahannya.
Jadi, jika pemilik tanah dengan jenis lahan perkebunan maka
dihitung Rp. 4.550,- per meter persegi dikalikan luas tanah yang dipakai.
Pada Pasal
2 ayat (1) :
Berdasarkan
panjang jalur kegiatan, nilai ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat
operasi eksplorasi minyak, gas bumi, pertambangan dan energi ditetapkan sebagai
berikut :
a)
Tanah
belukar, rawa, alang-alang yang ada pemiliknya Rp. 1,850,-/m2
b)
Ladang
yang diusahakan palawija dan sayur-sayuran Rp. 3.200,-/m2
c)
Ladang/sawah
yang ada padinya Rp. 3.800,-/m2
d)
Kebun
tanaman perkebunan Rp. 4.550,-/m2
e)
Kebun
tanaman buah-buahan dan lain-lain Rp. 3.350,-/m2
Pidin juga menjelaskan lebih rinci kepada wartawan.
Sebagai contoh, Bapak Mugito memiliki
lahan perkebunan karet seluas 1 Hektare (Ha). Lahan tersebut jika dikonversi
dalam satuan meter persegi (M2) dari luas lahan 1 Ha. = 10.000 M2.
Jadi, berdasarkan ketentuan huruf d)
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2017 untuk jenis lahan
perkebunan tarifnya adalah sebesar Rp. 4.550,-
Maka, nilai tarif tersebut dikalikan
luas lahan milik Pak Mugito yakni, 10.000 M2 x Rp. 4.550,- = Rp.
45.500.000,-
Dari ilustrasi contoh di atas sangat
nampak kesenjangan perbandingan harga nilai ganti kerugian tersebut.
Jika Pergub yang diterapkan menggunakan
huruf a dan b pada Pasal 2 ayat (7), maka untuk luas lahan 1 Ha, Pak Mugito
hanya menerima pembayaran :
1. Rintisan
Dengan jarak tiap rintisan 50 meter, maka dari luas lahan 1 Ha.
terdapat 3 jalur rintisan. Jadi, nilai ganti kerugiannya dihitung Rp. 5.000,- x
300m = Rp. 1.500.000,-
2. Lubang Bor
Jarak lubang bor adalah 50 meter maju dan 150 meter kesamping.
Dengan luas lahan 1 Ha. hanya terdapat 3 lubang bor.
Jadi, nilai ganti kerugiannya dihitung Rp. 50.000,- x 3 = Rp.
150.000,-
Total ganti kerugian yang diterima Pak
Mugito jika diterapkan menggunakan pasal ini adalah sebesar Rp. 1.500.000,- +
Rp. 150.000,- = Rp. 1.650.000,- saja.
Bandingkan jika Pak Mugito dikenakan
Pasal 2 ayat (1) huruf d), Rp. 45.000.000 berbanding Rp. 1.650.000,-
Kondisi ini diperparah dengan sikap
semena-mena PT DCPTS dengan masuk dan berkegiatan di atas tanah pemegang hak tanpa
pemberitahuan apalagi izin.
Berdalih bahwa mereka telah mendapat
izin dari pemeritah setempat dan telah pula melaksanakan sosialisasi seismic di
desa-desa, justru membuat tindakan tersebut mengada-ada.
Lebih lanjut Pidin mengatakan bahwa dalam peraturan sebagaimana Pasal 35 UU
Nomor 22 tahun 2001 tentang MIGAS disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah
diwajibkan mengizinkan kegiatan operasi seismic apabila sebelum kegiatan
dimulai terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerja sama atau salinannya yang
sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan serta
dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui
oleh (masyarakat) pemegang hak atas tanah.
Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya juga diatur dalam ketentuan Pasal 2 PERPPU Nomor 51 tahun
1960 berbunyi “dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang
sah."
Dengan demikian, kami (lanjut Pidin) atas nama pemegang hak atas tanah dan/atau penerima kuasanya yang sah dengan tegas menolak kegiatan operasi survey seismic 3D Idaman di atas tanah kami dan menyerukan penolakan kegiatan sebelum adanya kesepakatan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mendesak Penguasa Daerah (Bupati dan/atau Gubernur) mengambil tindakan dengan menghentikan kegiatan operasi survey seismic dan mengosongkan tanah yang bersangkutan berikut dengan segala barang dan orang-orang yang berkegiatan di atasnya.
Teks/Editor : Hengky Yohanes
Foto : M. Toyeng
Tulis Komentar